Isnin, Oktober 18, 2010

Kafaah Nasab: Antara Ahlulbait dan Ahlussunah

Di petik dari: http://ejajufri.wordpress.com/2009/06/17/kafaah-nasab-antara-ahlul-bait-dan-ahlus-sunnah/


Di forum diskusi Ba Alwi, tema pernikahan syarifah dengan non-sayid masih dan akan tetap selalu hangat. Terutama pihak yang menentang, akan mati-matian membela keyakinannya itu. Di sini, saya bukan ingin memanaskan tema yang sudah hangat, tapi ada peristiwa yang membuat saya ingin mengangkat tema kafaah tersebut.
Dulu teman saya, seorang akhwal (sebutan bagi orang Indonesia di kalangan jammaah; jamaknya khâl yang berarti “paman dari ibu”) tanpa basa-basi bilang ke saya kalau dia ingin (nantinya) menikah dengan syarifah. Saya tidak bisa komentar apa-apa selain dengan jujur menjawab tidak punya banyak kenalan syarifah apalagi saya sendiri tidak bisa (atau tidak biasa?) jadi makcomblang.

Lalu teman saya (seorang sayid) yang juga teman si akhwal yang tahu keinginan temannya tersebut langsung menghubungi saya. Seperti orang yang tersambar petir, dia meminta saran dan bantuan saya agar menasihati si akhwal untuk mengurungkan niatnya tersebut.
Saya meresponnya melalui surel (yang cukup panjang) dan mungkin jawaban saya tidak sesuai dengan harapannya. Karena saya heran, bagaimana seandainya ada syarifah dan keluarganya yang mau dengan seorang non-sayid? Apa mungkin kita menghalang-halangi sesuatu yang halal? Apakah akhwal berdosa menikahi syarifah?

Kafaah dalam Sejarah

Sebelum Islam, posisi wanita bisa dikatakan tertindas. Di zaman Arab jahiliah, wanita dianggap sangat rendah apalagi wanita ‘ajam (non-Arab). Sedangkan di zaman Persia (jahiliah), wanita kalangan kekaisaran dianggap sangat mulia sehingga mereka lebih memilih menikah sedarah demi menjaga kemuliaan tersebut.
Ketika Islam datang, semua itu dirubah. Ayat-ayat yang turun mengenai pernikahan tidak menyinggung kafaah nasab, suku atau warna kulit, tapi terkait agama sekaligus akhlak. Sehingga Nabi saw. bersabda, “Bila ada seorang lelaki memuaskan dalam agama dan akhlak, maka terimalah lamaran kawinnya…”
Sejarah mencatat beberapa pernikahan berikut: Zaid bin Haritsah (bekas budak Nabi) menikah dengan Zainab binti Jahsy (bangsawan Quraisy); Usamah bin Zaid bin Haritsah (bekas budak) menikah dengan Fatimah binti Qais (bangsawan Quraisy); Bilal (sahabat berkebangsaan Ethiopia) menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf (Quraisy).

Kafaah dalam Fikih

Nah, dibagian fikih inilah yang menurut saya menjadi menarik: mazhab Ahlussunah (selain Maliki) menganggap pernikahan syarifah dengan non-sayid adalah tidak sekufu (tidak setara meskipun sah), sedangkan Syiah yang notabene mengikuti mazhab Ahlulbait menyatakan pernikahan seperti itu adalah kufu.
M. Hasyim Assagaf dalam bukunya yang kontroversial memberikan uraian mengenai kafaah dalam fikih Ahlussunah sebagai berikut:
  • Mazhab Hanafi: Kafaah adalah kesepadanan si lelaki bagi wanita dalam hal nasab, Islam, pekerjaan, kemerdekaan, keagamaan, dan harta. Kafaah berlaku bagi lelaki, tidak pada pihak perempuan. Lelaki boleh menikah dengan siapa saja.
  • Mazhab Maliki: Kafaah dibagi menjadi dua; pertama, keagamaan dan kedua, bebas dari aib yang ditentukan perempuan. Kafaah dalam hal harta, kemerdekaan, nasab, dan pekerjaan, tidaklah mu’tabar (diakui). Apabila seorang lelaki rendahan menikah dengan perempuan mulia (syarifah) maka sah.
  • Mazhab Syafi’i: Kafaah adalah nasab, agama, kemerdekaan, dan khifah (profesi). Bani Hasyim hanya kufu’ antara sesama mereka sendiri. Kafaah merupakan syarat bagi sahnya nikah bila tiada kerelaan, dan hal itu adalah hak perempuan dan walinya bersama-sama.
  • Mazhab Hanabilah: Kafaah adalah kesamaan dalam lima hal; keagamaan, pekerjaan, kelapangan dalam harta, kemerdekaan, nasab.
Serupa dengan mazhab Maliki, mazhab Syiah Ja’fari pun tidak mengenal kafaah dalam hal nasab. Disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Manusia itu kufu’ antara sesama manusia, Arab dan ‘ajam, Quraisy dan Bani Hasyim, bila mereka telah Islam dan beriman.” Itu semua merupakan bahasan fikih.

Kafaah dalam Amanah

Tanpa perlu panjang lebar membahas Ahlulbait dan zuriah Rasul, tanpa bermaksud membangkitkan sikap fanatik, dan tanpa niat meminta dihormati; sebagai zuriah, seseorang harus menjaga amanah yang dimilikinya, salah satunya adalah menjaga keberlangsungan keturunan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlih.
Meskipun dalam hukum fikih adalah sah, tapi tentu akan lebih afdal jika memilih yang lebih utama selain dari pada ukuran agama. Karena terkadang pernikahan beda nasab bisa menimbulkan masalah. Misalnya pertentangan kebudayaan di antara keluarga yang mungkin sulit untuk dipersatukan, atau masih adanya pandangan negatif atau “celaan” dari salah satu keluarga yang dianggap sebagai aib, dan seterusnya.
Untuk itu ada baiknya kita menengok pendapat Imam Syafii, dari sisi mencegah hal negatif. Meskipun secara fikih saya tetap meyakini mazhab Ahlulbait yang menyatakan bahwa pernikahan syarifah dengan non-sayid adalah sekufu. Ketika dulu ada yang mengatakan kepada saya bahwa asal-usul pernikahan satu nasab (syarifah harus dengan sayid) adalah Syiah Persia, tentu ini tuduhan belaka.
Tidak perlu terlalu fanatik terhadap nasab, tapi sama-sama saling melihat diri sendiri. Jika ada seorang syarifah menikah dengan akhwal, jangan cegah si akhwal atau mencela keluarga syarifah. Tapi pertanyakan; ke mana sayid atau di mana keutamaanya? Begitu juga dengan sayid yang menikah dengan non-syarifah, jangan dulu cela si sayid. Ke mana syarifah yang masih menyadari “kesyarifahannya”? Wallahualam.

Tambahan: 30 Januari 2010

Hari ini, masuklah dua komentar panjang lebar tentang tulisan ini. Niatnya mungkin ingin mengkritik tulisan, tapi justru menyerang pribadi saya. Mungkin karena ia belum membaca dan memahami tulisan beserta maksudnya.
Pertama, ia mengkritik turunnya kualitas anak-cucu Nabi dalam agama. Padahal ketika membicarakan agama, kesampingkan sejenak masalah keturunan. Agama ini (Islam) untuk seluruh umat manusia. Memang benar bahwa keturunan Nabi memiliki tanggung jawab yang lebih besar, tapi kewajiban amar makruf dan saling mengingatkan ada di pundak setiap  muslim.
Kedua, ia berbicara masalah syarat nikah dan menyebutkan bahwa di kalangan Alawiyyin syarat nikah di tambah satu, yaitu kafaah, yang tanpanya maka pernikahan batal. Kalau ia membaca tulisan di awal, yang menetapkan kafaah dalam nasab adalah ulama Ahlussunah, sedangkan ulama mazhab Ahlulbait tidak menetapkan kafaah nasab sebagai syarat nikah.
Ketiga, bukti yang disampaikan seperti biasa kisah tentang peminangan Sayidah Fatimah, putri Nabi saw. Bagi yang membela kafaah nasab (dari kalangan manapun), pemilihan Nabi terhadap Sayidina Ali dianggap karena masalah kafaah nasab. Tapi bagi saya, pemilihan Nabi tidak mungkin “hanya karena masalah kecil”, tapi Nabi memilih karena kualitas iman, takwa, akhlak dan kedekatan Imam Ali kepada Allah, dibandingkan sahabat lain yang meminang. Inilah yang disebutkan pernikahan langit (yang “dirancang” oleh Allah Swt.)
Keempat, pembicaraannya semakin melebar dengan mengutip ayat dan hadis untuk mengajari saya tentang keutamaan Ahlulbait, yang saya tidak ada keraguan sedikitpun tentangnya. Tapi ia mengatakan bahwa “Sayid hanya akan akan menikah dengan Syarifah”, padahal semua sudah tahu bahwa Imam Ali tidak hanya menikahi wanita Bani Hasyim, Imam Husain pun menikahi putri Persia, Imam Ali Zainal Abidin yang menikahi seorang budak, dan seterusnya. Hal ini menegaskan bahwa kafaah adalah agama.
Kelima, pembicaraan mengenai “nikmat dan rasa syukur” menjadi zuriah. Seseorang yang hanya memikirkan satu sisi hanya akan terlena, karena tanggung jawab sebagai zuriah harus lebih diutamakan dan saya sepakat  dalam hal ini. (Silakan baca: Ke-sayyid-an: Berkah atau Beban?)
Terakhir pembicaraan kembali tentang keutamaan Ahlulbait, mulai dari nasab yang berlanjut dari Bunda Fatimah as. dan seterusnya hingga mengutip riwayat keutamaan Ahlulbait yang sangat diamini oleh para Syiah Ahlulbait as. Padahal kalau ia membaca seluruh tulisan dan komentar saya, niscaya hal itu sejalan.
Komentar selanjutnya, barulah dia menyerang pribadi saya dengan meragukan keturunan seseorang. Sebutan “tuan”, “sayid”, atau “habib” memang tidak pernah diharapkan oleh orang seperti saya dan sudah ditegaskan dari awal. Meragukan darah/keturunan seseorang pun tidak akan mengubah hakikat aslinya, karena kaum Alawiyyin memiliki nasab jelas hingga puluhan tingkat ke atas, ketika sebagian yang lainnya mungkin tidak memiliki kejelasan bahkan lima tingkat ke atas. Wallahualam.

Tiada ulasan: